PERIFAROUK.ID

Kreivo estas la Plej Bona Festo!

KEADILAN ARISTOTELIAN: RELEVANSI REFORMASI HUKUM INDONESIA

Hukum di Indonesia sering dikritik karena dianggap tidak adil. Ketimpangan dalam penegakan hukum, bias terhadap kelompok tertentu, serta maraknya praktik korupsi dan nepotisme membuat hukum kehilangan esensinya sebagai alat keadilan. Namun, bagaimana seharusnya keadilan dalam hukum diterapkan? Aristoteles, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, memiliki gagasan mendalam tentang keadilan yang tetap relevan hingga kini. Dalam Nicomachean Ethics, ia membagi keadilan menjadi dua: keadilan distributif (pembagian hak dan kewajiban secara proporsional) dan keadilan retributif (hukuman yang setimpal dengan pelanggaran). Jika gagasan ini diterapkan dalam reformasi hukum Indonesia, apakah sistem hukum kita bisa menjadi lebih adil?

Artikel ini membahas bagaimana keadilan Aristotelian dapat menjadi fondasi bagi reformasi hukum yang lebih berkeadilan di Indonesia.


KEADILAN MENURUT ARISTOTELES: PROPORSIONALITAS DAN KESETIMPALAN

Aristoteles percaya bahwa keadilan bukan sekadar kesamaan, tetapi kesesuaian antara hak, tanggung jawab, dan konsekuensi. Dalam konteks hukum, ini berarti:

  1. Keadilan distributif: Sumber daya, hak, dan kewajiban harus diberikan sesuai dengan kontribusi dan kebutuhan individu atau kelompok dalam masyarakat.
  2. Keadilan retributif: Hukuman atau ganjaran harus sebanding dengan tindakan yang dilakukan, sehingga tidak ada kelebihan atau kekurangan dalam penegakan hukum.

Ia menulis, “Keadilan adalah kebiasaan yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.” Sayangnya, di Indonesia, prinsip ini sering kali tidak berjalan. Seorang koruptor miliaran rupiah bisa mendapatkan vonis ringan atau remisi, sementara seorang rakyat kecil yang mencuri makanan untuk bertahan hidup bisa dihukum berat. Ini adalah contoh nyata ketidakseimbangan dalam keadilan distributif dan retributif.


MASALAH KEADILAN DI INDONESIA: KETIDAKSEIMBANGAN DISTRIBUTIF DAN RETRIBUTIF

Sistem hukum Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang bertentangan dengan prinsip Aristotelian:

Pertama, ketimpangan dalam distribusi keadilan. Di satu sisi, akses terhadap keadilan masih elitis, tampak ketika masyarakat miskin sering kali kesulitan mendapatkan bantuan hukum, sementara kelompok berkuasa memiliki akses ke pengacara terbaik dan jaringan politik yang dapat melindungi mereka. Di sisi lain, terhadi penyalahgunaan kebijakan hukum. Peraturan yang seharusnya melindungi rakyat justru sering dijadikan alat kekuasaan untuk mengontrol oposisi atau mengamankan kepentingan segelintir elite.

Kedua, hukuman yang tidak proporsional (retribusi yang tidak setimpal). Koruptor sering mendapat hukuman ringan, dengan alasan “berkelakuan baik” atau “mengembalikan sebagian uang negara.” Dan kasus hukum yang tidak konsisten, dimana hukuman bagi pelaku kejahatan sering kali bergantung pada status sosial mereka, bukan pada seberapa besar dampak kejahatan yang dilakukan. Sebagai contoh, kasus-kasus narkotika kerap menunjukkan ketimpangan ini. Pemakai dari kalangan bawah bisa dihukum berat, sementara bandar besar dengan jaringan luas bisa mendapatkan keringanan atau lolos dari jerat hukum.

    Ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa keadilan di Indonesia masih jauh dari prinsip Aristotelian. Jika reformasi hukum ingin berjalan efektif, maka harus ada keseimbangan antara distribusi keadilan dan hukuman yang proporsional.


    MENUJU REFORMASI HUKUM BERBASIS KEADILAN ARISTOTELIAN

    Agar sistem hukum di Indonesia lebih adil dan efektif, beberapa prinsip Aristotelian dapat diterapkan dalam reformasi hukum:

    1. Membangun Sistem Keadilan Distributif yang Lebih Adil

    Dalam konsep Aristoteles, distribusi keadilan harus didasarkan pada kontribusi dan kebutuhan, bukan kekayaan atau koneksi politik. Ini dapat diterapkan dengan antara lain meningkatkan akses bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu, misalnya dengan memperkuat lembaga bantuan hukum (LBH) dan membuat mekanisme advokasi hukum gratis bagi mereka yang membutuhkan. Serta mencegah penyalahgunaan hukum untuk kepentingan elite, dengan memastikan bahwa kebijakan hukum benar-benar dibuat untuk kepentingan publik, bukan kelompok tertentu.

    Sebagai contoh, di negara-negara Skandinavia, bantuan hukum untuk masyarakat kurang mampu tersedia secara luas, sehingga keadilan benar-benar bisa diakses oleh semua orang.


    1. Menegakkan Keadilan Retributif Secara Proporsional

    Hukuman harus proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. Untuk mencapai hal ini, reformasi hukum Indonesia perlu menutup celah hukum yang memungkinkan koruptor mendapatkan hukuman ringan atau bebas dengan mudah. Serta menghapus ketimpangan dalam hukuman pidana, dengan menerapkan standar yang lebih ketat untuk memastikan bahwa semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum.

    Di Singapura, misalnya, kebijakan zero tolerance terhadap korupsi telah membuat hukuman bagi pelaku korupsi benar-benar tegas dan tidak bisa dinegosiasikan. Ini adalah salah satu alasan mengapa negara tersebut memiliki tingkat korupsi yang sangat rendah.


    1. Mengembalikan Independensi dan Kredibilitas Sistem Hukum

    Dalam konsep Aristoteles, hukum harus dijalankan oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi. Maka, reformasi hukum Indonesia harus berfokus pada memastikan bahwa hakim dan jaksa bebas dari intervensi politik, dengan memperkuat independensi lembaga peradilan dan menjamin transparansi dalam setiap putusan hukum. Serta meningkatkan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum, agar mereka benar-benar menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip keadilan.

    Di beberapa negara maju, pengawasan terhadap hakim dan jaksa dilakukan oleh lembaga independen, yang memastikan bahwa setiap keputusan hukum dibuat berdasarkan keadilan, bukan tekanan politik atau ekonomi.


    PENUTUP: MENGEMBALIKAN KEADILAN KE JALURNYA

    Prinsip keadilan Aristotelian memberikan kerangka kerja yang jelas bagi reformasi hukum di Indonesia. Jika kita ingin menciptakan sistem hukum yang benar-benar adil, maka harus ada keseimbangan antara distribusi hak dan kewajiban serta hukuman yang proporsional.

    Seperti yang diidealkan Aristoteles, “Hukum adalah akal tanpa nafsu.” Artinya, hukum harus bebas dari kepentingan pribadi, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika prinsip ini diterapkan, Indonesia dapat bergerak menuju sistem hukum yang lebih berkeadilan, transparan, dan dipercaya oleh rakyatnya.

    Published by

    Tinggalkan komentar