PERIFAROUK.ID

Kreivo estas la Plej Bona Festo!

KEADILAN PLATONIK: RELEVANSI REFORMASI HUKUM INDONESIA

Di tengah berbagai persoalan hukum di Indonesia—dari ketidakadilan dalam sistem peradilan hingga maraknya korupsi—reformasi hukum menjadi kebutuhan mendesak. Namun, reformasi bukan sekadar memperbaiki regulasi atau menambah institusi, tetapi juga harus berlandaskan filosofi keadilan yang mendalam. Salah satu gagasan keadilan tertua dan paling fundamental berasal dari Plato. Dalam The Republic, ia menggambarkan keadilan sebagai harmoni dalam masyarakat, di mana setiap orang menjalankan perannya sesuai kodrat dan keahliannya. Namun, apakah gagasan keadilan ala Plato masih relevan dalam konteks modern, khususnya dalam reformasi hukum Indonesia?

Artikel ini mengeksplorasi konsep keadilan Platonik dan bagaimana prinsip-prinsipnya dapat memberikan inspirasi dalam membangun sistem hukum yang lebih adil dan efektif.


KEADILAN MENURUT PLATO: HARMONI DALAM MASYARAKAT

Plato melihat keadilan sebagai tatanan sosial yang harmonis. Dalam idealnya, masyarakat terdiri dari tiga kelas:

  1. Filosof-Raja (Pemimpin Bijaksana): Orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan wawasan luas untuk memimpin negara.
  2. Ksatria (Pelindung dan Penegak Hukum): Mereka yang bertugas menjaga keamanan dan menegakkan hukum dengan keberanian dan kehormatan.
  3. Produsen (Masyarakat Umum): Kelompok yang bekerja dalam berbagai bidang ekonomi dan kehidupan sosial.

Keadilan terjadi ketika masing-masing kelas menjalankan perannya tanpa melampaui batas. Plato menulis, “Keadilan ada ketika setiap individu menjalankan tugasnya sesuai dengan kodratnya, tanpa mencampuri urusan kelas lain.”

Dalam konteks modern, konsep ini bisa diterjemahkan dalam prinsip pemisahan kekuasaan (trias politica) yang menjadi dasar sistem demokrasi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menjalankan fungsinya masing-masing tanpa saling intervensi. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa batas-batas ini sering kali dilanggar.


REALITAS SISTEM HUKUM INDONESIA: HARMONI YANG TERGANGGU

Di Indonesia, gagasan Platonik tentang harmoni dalam hukum kerap mengalami distorsi akibat berbagai faktor:

  1. Ketimpangan dalam Penegakan Hukum

Kasus-kasus korupsi besar sering kali berakhir dengan vonis ringan, sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran kecil mendapat hukuman berat. Seorang pejabat yang terbukti menyalahgunakan dana publik bisa mendapatkan keringanan dengan berbagai dalih, sementara seorang ibu yang mencuri makanan karena kelaparan bisa dijatuhi hukuman penjara.

  1. Intervensi Kekuasaan terhadap Yudikatif

Mahkamah Konstitusi dan lembaga penegak hukum lainnya sering kali mendapat tekanan politik dalam pengambilan keputusan. Reformasi hukum sering mandek karena kepentingan elite yang lebih mengutamakan keuntungan politik daripada keadilan substantif.

  1. Kurangnya Pemimpin Bijaksana (Philosopher-King)

Plato menekankan bahwa pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan dan integritas moral tinggi. Di Indonesia, banyak pemimpin yang lebih mementingkan elektabilitas dan kepentingan kelompok dibandingkan menciptakan kebijakan hukum yang adil dan berkelanjutan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari konsep harmoni ala Plato. Lalu, bagaimana reformasi hukum dapat mengadopsi prinsip keadilan Platonik untuk menciptakan sistem yang lebih adil?


MENUJU REFORMASI HUKUM BERBASIS KEADILAN PLATONIK

Untuk menciptakan reformasi hukum yang lebih efektif dan berkeadilan, beberapa prinsip dari filosofi Plato dapat diadaptasi dalam konteks Indonesia:

Pertama, mengembalikan integritas pemimpin hukum: Filosof-Raja dalam konteks modern. Plato percaya bahwa hanya mereka yang memiliki kebijaksanaan sejati yang layak memimpin. Dalam konteks hukum, ini berarti: Menempatkan individu yang berintegritas dalam posisi strategis (misalnya, hakim, jaksa, dan pejabat hukum lainnya harus benar-benar independen dan berintegritas); Reformasi dalam rekrutmen aparat penegak hukum, dengan sistem seleksi berbasis kompetensi dan etika, bukan sekadar loyalitas politik atau kedekatan dengan kekuasaan. Di beberapa negara seperti Finlandia dan Kanada, sistem peradilan mereka sangat transparan dan independen, karena hakim serta aparat hukum dipilih berdasarkan rekam jejak dan moralitas, bukan karena kepentingan politik. Indonesia perlu menerapkan model serupa.


Kedua, memperkuat institusi hukum sebagai ksatria penjaga keadilan. Dalam model Plato, ksatria bertugas menjaga ketertiban dan menegakkan keadilan. Dalam konteks reformasi hukum Indonesia, ini bisa diterjemahkan sebagai: Penguatan lembaga seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, dan Ombudsman, agar mereka bisa menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik; Memastikan polisi dan jaksa bekerja secara profesional, bukan sebagai alat kekuasaan. Contoh keberhasilan bisa dilihat dari sistem hukum di Jerman, di mana jaksa dan polisi memiliki independensi tinggi, sehingga keadilan ditegakkan tanpa tekanan politik.


Terakhir, menjamin partisipasi publik dan transparansi dalam kebijakan hukum. Plato mungkin tidak terlalu menekankan demokrasi, tetapi dalam konteks modern, partisipasi publik dalam sistem hukum sangat penting. Ini bisa dilakukan melalui: Mekanisme konsultasi publik dalam pembuatan undang-undang, sehingga hukum yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat; Transparansi dalam peradilan, dengan sistem pemantauan publik terhadap kinerja hakim dan jaksa. Estonia, misalnya, telah menerapkan sistem digital dalam pengadilan yang memungkinkan masyarakat memantau proses hukum secara real-time, mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.


PENUTUP: MEWUJUDKAN HARMONI HUKUM DI INDONESIA

Konsep keadilan ala Plato mungkin berasal dari zaman kuno, tetapi esensinya tetap relevan: hukum harus menciptakan harmoni sosial, dengan memastikan bahwa pemimpin memiliki kebijaksanaan, aparat hukum bertindak sebagai penjaga keadilan, dan masyarakat memiliki peran dalam sistem hukum. Reformasi hukum Indonesia harus berorientasi pada prinsip-prinsip ini agar tidak hanya menjadi perubahan prosedural, tetapi juga transformasi nilai dan budaya hukum. Seperti kata Plato, “Hukum yang baik bukan sekadar aturan, tetapi cerminan dari jiwa masyarakat yang adil.”

Jika Indonesia ingin mencapai keadilan yang sejati, saatnya kita kembali belajar dari filsafat dan mengaplikasikannya dalam realitas hukum kita. Karena keadilan bukan hanya milik penguasa, tetapi hak bagi setiap warga negara. Apakah Indonesia siap mengembalikan harmoni dalam hukumnya?

Published by

Tinggalkan komentar